Jangan mempelajari Alquran, belajarlah dari Alquran


Rasulullah adalah madinatul 'ilmi, kotanya ilmu pengetahuan. Ali adalah babu al-ilmu, pintunya ilmu pengetahuan. Luasnya tidak terhingga. Ilmu itu tidak terjangkau oleh kamu, saya, dan siapa pun.

Allah memberi kita semua ilmu yang sangat sedikit. Dan, yang sangat sedikit itu saja kita tidak mampu menjangkaunya. Ini pengetahuan pertama untuk menjadi pintu, sehingga anytime kamu hafal ini, kamu ingat ini. Dengan begitu, kamu akan menemukan kesadaran dan kerendahhatian bahwa, jika kamu menuju suatu tempat, ada dua hal yang perlu kamu ingat; yang satu, kamu sudah tahu beberapa hal di tujuanmu, misalnya kamu akan bertemu teman-teman dan seterusnya. Kedua, ada faktor lain yang jauh lebih banyak, yaitu hal-hal yang kamu tidak tahu. Di tempat tujuanmu itu banyak orang, tapi kamu tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

Karena itu, setiap kamu perlu mengingat bahwa lebih banyak hal yang tidak kamu ketahui daripada yang diketahui.

Mengaji dan mengkaji itu beda. Mengkaji itu intelektual akademis. Kalau mengaji, goal-nya martabat dan ilmu yang bermanfaat secara batin. Maka dalam pembacaan terhadap Al-Quran, sebaiknya 90% mengaji dan 10% mengkaji. Demikian pula porsi itu juga harus kamu gunakan dalam hubungan dengan sesama manusia.
Bila kamu berhubungan dengan orang, mengajilah bersama dia, bukan mengkajinya. Cari manfaat sebanyak-banyaknya untuk segala kebaikan dan kebenaran. Jangan mempelajari orang itu, karena kamu pun tidak nyaman ketika ada orang lain mempelajarimu.

Ada dua pendekatan, pertama belajar dari, kedua mempelajari. "Belajar dari" harus lebih banyak dari "mempelajari". Kalau benar-benar mempelajari suatu hal, kamu ndak akan pernah sampai. Kamu mau mempelajari siapa? Mempelajari diri sendiri pun, kamu tidak akan sampai. Maka, sebaiknya kita tadaburan bersama.

Selama ini, mengisi jarak dengan Al-Quran melalui tafsir. Maka, yang lahir adalah mufassir, untuk orang-orang yang menafsirkan. Atau ahli tafsir. Jalalain, Ibnu Katsir, Quraisy Shihab, dan Buya Hamka, itu semua ahli tafsir.

Setiap saat kamu perlu mengingat bahwa lebih banyak hal yang tidak kamu ketahui daripada yang kamu ketahui.

Menafsirkan itu butuh persyaratan ilmiah dan akademik yang luar biasa berat. Kalau menafsirkan Al-Quran, kamu harus menguasai bahasa Arab. Kamu harus menguasai sejarah sastra Arab. Kamu harus menguasai absabun nuzul. Dalam satu kalimat, kamu harus mengetahui semua unsurnya dan asal-usulnya. Kamu harus tahu latar belakang turunya wahyu, ada peristiwa apa di belakangnya. Itu namanya asabun nuzul.

Lalu, siapa yang memberi judul surah-surah Al-Quran? Kalau membaca Al-Quran dengan alur berpikir akademis, kamu gunakan ketika kuliah. Misalnya, kamu mempelajari kotoran sapi dalam perkuliahan. Isi pembahasannya adalah segala hal mengenai kotoran sapi hingga teknologi pupuk.
Tapi, kalau kamu ingin mempelajari sapi di Surah Al-Baqarah, ya, tidak akan ketemu. Begitu pula cara berpikir dalam hidup ini, tidak seakademis itu. Kalau kamu mau cepat menemukan kehidupan dan kesejatian, ikuti Al-Quran. Al-Quran mengatakan Al-Baqarah tidak berarti kamu bisa riset mengenai sapi di surah itu. Begitu pula dalam Surah Al-Naml, kamu tidak akan menemukan pembahasan semut di sana.
Jangan mempelajari Al-Quran. Belajarlah dari Al-Quran. Itu bedanya tafsir sama tadabur.

Sukai halaman Facebook




Komentar

Postingan populer dari blog ini

SUARA-SUARA KELEDAI

Subjektivisme bawa Karaeng 2

SHUMMUN BUKMUN